SEJARAH PGRI SEBELUM KEMERDEKAAN
SEJARAH PGRI
SEBELUM KEMERDEKAAN
ABSTRAK
Pada makalah kali ini kami
akakn membahas tentang Sejarah PGRI Sebelum Kemerdekaan dimana akan kami
gambarkan tentang profesi guru yang ikut berjuang pada zaman penjajahan dimana
pada masa penjajahan Belanda sampai dengan penjajahan Jepang
Guru juga mempunyai peranan penting di dalam
memperjuangkan dan merebut kemerdekaan. Namun tidak banyak orang yang
mengetahui hal tersebut. Oleh sebab itu, makalah ini di tulis untuk menjelaskan
bagaimana pentingnya tokoh seorang guru dan seberapa besarnya peranan guru di
dalam berjuang melawan penjajah.
A.
PENDAHULUAN
Di dalam kebudayaan bangsa Indonesia, profesi guru
mempunyai kedudukan paling tinggi dan dihormati oleh masyarakat. Masyarakat
jawa mengenal ungkapan “guru, ratu, karo wong tuwo” artinya adalah taatilah
pertama-tama gurumu, lalu rajamu, kemudian kedua orang tuamu. Penghargaan guru
tersebut juga terjadi pada masa kolonial, dimana status profesi guru mempunyai
kedudukan yang terhormat karena itu guru dihargai oleh masyarakat. Mereka
dianggap panutan masyarakat, pemimpin masyarakat, dipanggil ndoro guru dengan
status ekonomi yang cukup tinggi. Pada masa kolonial, memang status profesi
guru relatif tinggi.
Pada masa penjajahan Jepang, sang guru mendapat
kehormatan dengan julukan “Sensei” yang sesuai dengan kebudayaan Jepang dimana
guru mempunyai kedudukan sosial yang sangat dihormati. Selanjutnya pada masa
pasca kemerdekaan sekitar tahun 1950-an, profesi guru pernah menjadi
dambaanorang. Dalam berbagai daerah, ambil contoh di kawasan Indonesia Timur,
yang dicari adalah pegawai negeri atau guru.
Dengan perkembangan jaman dan pola fikir masyarakat,
terjadilah pergeseran anggapan tentang guru, berkaitan dengan perkembangan
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Profesi guru bukanlah merupakan pilihan
utama dan bergensi, bahkan status profesi guru lebih rendah dibandingkan dengan
profesi lain seperti dokter, hakim, teknisi, dan bahkan buruh sekalipun.
Profesi guru semakin terpuruk, khususnya guru Sekolah Dasar (SD) yang terkesan
“terbelakang” kesejahteraannya. Padahal keprofesian guru menuntut kecakapan dan
usaha intelektual yang tinggi, serta pendidikan formal yang cukup tinggi.
B.
PEMBAHASAN
1) Keadaan Pendidikan di Indonesia pada Masa Penjajahan
Belanda
Keadaan pendidikan di Indonesia pada
masa penjajahan Belanda sangat memprihatinkan baik dari segi pendidikan, guru,
dan sekolahnya.
2) Pendidikan dan Sekolah
Pada jaman Protugis dan spanyol mulai
didirikan sekolah-sekolah model baru, berlainan dengan sekolah-sekolah
pesantren. Di sekolah ini tidak hanya diajarkan tentang agama namun juga
diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah-sekolah ini hanya berada di
kepulauan Maluku sampai kedatangan VOC di Indonesia. VOC berkuasa di Indonesia
pada tahun 1600-1800. VOC ini juga mengadakan sekolah-sekolah di daerah
kekuasaan mereka seperti kepulauan Maluku, di beberapa pulau di kepulauan Sunda
Kecil (Nusa Tenggara), di Batavia (Jakarta), dan di Semarang.
Sekolah-sekolah Belanda ini diadakan 2 jam pada waktu
pagi dan 2 jam pada waktu sore hari. Pada mulanya bahasa pengantar yang
dipergunakan adalah bahasa Belanda, akan tetapi karena hasilnya tidak memuaskan
maka diganti dengan bahasa Melayu. Anak-anak tidak teratur didalam bersekolah
karena mereka harus membantu kedua orang tuanya. Gurunya berkebangsaan Belanda
dan kebanyakan tidak mendapatkan latihan sebagai guru. Pelajaran yang diberikan
hanya terdiri dari agama, menyanyi, membaca, menulis dan berhitung. Orang-orang
yang sudah tamat sekolah harus berkumpul dua kali dalam seminggu untuk
kelas-kelas lanjutan.
Pada tahun 1684 diumumkan Undang-Undang Sekolah
pertama, yang isinya antara lain :
– Untuk mendirikan
sekolah harus seijin pemerintah
– Jam pelajaran
sekolah jam 08.00-11.00 dan jam 14.00-17.00
– Dilarang adanya
pelajaran campuran antara anak laki-laki dan perempuan
– Hari libur dan
uang sekolah diatur pemerintah
– Sekolah-sekolah
dimonitoring 2 kali setahun
Pada tahun 1778 dikeluarkan Undang-Undang yang
baru, yang isinya antara lain :
– Tiap-tiap sekolah dibagi dalam 3
kelas
– Di kelas satu diajarkan membaca,
menulis, berhitung, menyanyi, dan agama
Pada tahun 1800 VOC dibubarkan, Indonesia dijajah
secara langsung oleh pemerintahan Belanda. Dalam bidang pendidikan hampir sama
dengan VOC hanya sekarang pendidikan diperbanyak akibat pengaruh dari
Liberalisme. Gubernur Jendral Daendels (tahun 1808-1811) memerintahkan kepada
para Bupati di Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi.
Tahun 1830 Pemerintah Belanda memerintahkan kepada
para Bupati dan Residen untuk mendirikan sekolah pribumi dengan mata pelajaran
budi pekerti, membaca, dan menulis.
Tahun 1850 pemerintah mendirikan Sekolah Dasar Missie
(Zending) di Maluku, Manado, Timor, Jawa, dan Kalimantan. Tahun 1852 didirikan
sekolah guru. Tahun 1867 didirikan Depertemen Pendidikan yang bertanggung jawab
terhadap permasalahan pendidikan.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda
semakin bertambah jumlahnya dan berjenis-jenis. Hal ini memang disengaja oleh
pemerintah Belanda dalam rangka melaksanakan politik devide et empera dalam
bidang pendidikan di Indonesia. Sampai dengan tahun 1937 sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pemerintahan Belanda adalah :
- Sekolah Desa
Sekolah desa ini diseduaikan dengan
kehidupan desa. Lama pelajaran 3 tahun, selama dua setengah jam sehari.
Di sini diajarkan bahasa daerah,
berhitung, yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, membaca menulis dengan
huruf daerah dahulu dan kemudian huruf latin. Jumlah sekolah desa tahun 1921
ada 8000 buah dengan murid 543.000 orang.
- Sekolah Kelas Dua
Sekolah Kelas Dua untuk umum. Waktu
Sekolah Desa diadakan, beberapa Sekolah Kelas Dua ini dijadikan “Standaard
School” atau “Vervolgschool”, yaitu sekolah sambungan bagi sekumpulan Sekolah
Desa yang berdekatan, dengan maksud supaya pengajaran sama dengan pengajaran di
Sekolah Kelas Dua biasa. Lama pelajaran 2 tahun sesudah Sekolah Desa. Sekolah
Kelas Dua pada mulanya terdiri dari 3 kelas, kemudian ditambah menjadi 4 kelas
dan akhirnya menjadi 5 kelas.
Di sekolah ini diajarkan bahasa
Melayu. Tamatannya hanya dapat meneruskan ke Sekolah Normal (untuk calon guru
Sekolah Kelas Dua) dan Sekolah Pertukangan (Ambachtschool).
3.
Schakelschool atau Sekolah Penghubung
Sekolah ini,
selama 5 tahun mengajarkan murid-murid Sekolah Kelas Dua yang pandai dari kelas
3, 4 atau 5 sehingga mencapai kepandaian setaraf dengan kepandaian tamatan HIS.
Tamatan Schakelschool ini dapat meneruskan pelajaran ke MULO.
4.
Hollands Inlandse School (HIS)
Lama
pelajaran 7 tahun. Pada sekolah ini diajarkan 3 bahasa, yaitu bahasa Daerah,
Bahasa Melayu, dan Bahasa Belanda. Sekolah ini merupakan dasar bagi anak
Indonesia yang ingin melanjutkan pelajarannya ke MULO, AMS dan Sekolah Tinggi.
Yang dapat diterima di HIS adalah anak-anak bangsawan atau pegawai negeri.
Pada tahun
1921 jumlah sekolah ini ada 146 buah milik negeri dan 64 buah sekolah swasta
yang mendapat subsidi, jumlah murid seluruhnya ada 400.000 orang.
3) Nasib Guru
pada Masa Hindia Belanda
Kekuasaan Belanda yang berlangsung
tiga setengah abad jatuh dalam waktu yang sangat singkat. Melitah persiapan
tentara Belanda, terutama mengenai materil baik alat-alat senjata maupun
persediaan makanan dan pakaian, sangat mengherankan hal ini terjadi. Salah satu
sebab ialah tidak nampaknya semangat peperangan pada para prajurit dan perwira
tentara Hindi Belanda. Sebab lain adalah kesalahan Hindia Belanda di dalam
menjalankan politiknya di Indonesia.
Politik kolonial Hindia Belanda itu sangat dipuju oleh
luar negeri. Susunan organisasi Pemerintah di Hindia Belanda diadakan
sedemikian rapi, sehingga tidak ada kejadian yang tidak segera diketahui oleh
pusat. Modal asing yang ditanam di sini jamin. Sehingga dengan leluasa orang
asing menggali keuntungan dari alam Indonesia. Dan tidak boleh dilupakan,
rakyat Indonesia sendiri pada waktu itu nampak tertib, sehingga melahirkan
ucapan bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang paling lemah lembut di
dunia”-“hetzachtste volk der aarde”. Politik memecah belah dilakukan sedemikian
halusyan, sehingga tidak dirasakan oleh yang berkepentingan. Dimana-mana
perbedaan pengajian mencolok sekali.
Di bidang pendidikan diadakan bermacam-macam sekolah
dasar, masing0masing untuk golongan tertentu. Umpama sekolah desa untuk
golongan orang desa, sokolah dasar angaka II untuk rakyat biasa yang ada di
kota, sekolah dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak nigrat atau anak pegawai
pemerintahan Hindia Belanda.
Guru-gurunya tamtan bermacam-macam sekolah guru,
seperti Sekolah Guru Desa, Normaalschool (NS), Kweekschool (KS), Hogere
Kweekschool (HKS), Hollands Inlandce Kweekschool (HIK), Europase Kweekschool
(EKS), Indische Hoofdacte dan sebagaimananya. Guru-guru ini mempunyai serikat
sekerja masing-masing menurut ijasahnya.
Perbedaan dalam pengajian dan kedudukan tersebut tidak
jarang menimbulkan pertentangan antara golongan guru yang bermacam-macam itu,
hal mana yang tidak menguntungkan dunia pendidikan.
Oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sengaja diciptakan
golongan tinggi dan golongan rendah yang sangat mempengaruhi pergaulan antara
golongan-golongan itu. Mereka itu pada umumnya tidak mau saling mengenal.
Kalau jarak antara golongan tinggi dan golongan rendah
sudah begitu jauh, maka lebih besar lagi jarak antara rakyat dengan pembesar-pembesar.
Siasat pecah belah ini diadakan di semua lapangan, di
dalam gerakan-gerakan masyarakat, baik yang mengenai politik maupun yang
mengenai sosial/ekonomi. Banyak para pemimpin pergerakan bangsa Indonesia
ditangkap, di masukkan ke penjara atau dibuang keluar daerah (ke negeri
Belanda, ke Bengkulu, ke Boven Digul/Iran dan lain-lain). Tndakan pemerintah
pemerintahan Hindia Belanda ini mengakibatkan lemahnya kedudukan bangsa
Indonesia pada umumnya di semua lapangan.
Tetapi hal yang demikian ini lama-lama dapat
dimengerti oleh rakyat berkat keberanian para pemimpin perjuangan. Lambat laun
timbullah rasa kecewa pada rakyat terhadap pemerintah colonial yang
diskrimintif dan memecah belah itu, baik yang terang-terangan maupun yang
terselubung.
Para pemimpin bangsa Indonesia yang bekerja sama
dengan Belanda pun merasa kecewa, karena beberapa usulnya dalam Volksraad
diabaikan sama sekali. Seperti usul mengadakan milisi di kalangan bangsa
Indonesia, usul mempermudah anak-anak Indonesia masuk sekolah-sekolah Belanda
dan sekolah Tinggi, usul supaya Volksraad benar-benar mengatur Negara (petisi
Soetardjo), usul mengenai pemberantasa buta huruf dan sebagainya.
Hal-hal seperti tersebut di atas itulah yang akhirnya
merugikan pemerintahan Hindia Belanda sendiri.
4)
Perjuangan Guru Pada masa Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda selama tiga
setengah abad mengakibatkan penderitaan lahir maupun batin bagi bangse
Indonesia. Semenjak penjajah menginjakkan kakinya dan mencekamkan kuku
penjajahnya di bumi tanah air kita ini, timbullah gejolak perjuangan bangsa
kita menentang panjajah. Mulai dari perjuangan fisik berkuah darah yang
dilakukan oleh bangsa kita di bawah pimpinan : Teuku Oemar, Imam Bonjol,
Pangeran Diponegoro, Pattimura, dan lain-lain, sampai pada zaman perjuangan
politik pada awal abad ke-20.
Nama-nama Kartini, Dr. Sutomo, Raden Ngabehi Husodo,
Ciptomangunkusumo, dan sederetan nama lain lagi, merupakan pecetus perjuangan
melalui ideologi pendidikan untuk memperjuangkan nasib bangsa kita yang sangat
sengsara di tapak kaum penjajah. Lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 merupakan
obor perjuangan dikalangan kaum terpelajar dan kaum priyayi yang secara sadar
merasa terpanggil oleh jeritan nasib bangsanya yang menyedihkan.
Pada tahun 1908 itu juga berdiri organisasi buruh
Vereniging van Spoor dan Tramweg Personeel in Nederlands Indie (VSTP) yakni
satu organisasi buruh Tram dan Kereta Api, yang pada tahun 1923 mengadakan
mogok kerja, membuat kalang kabutnya pemerintahan Belanda.
Pada tahun 1912 berdiri sebuah organisasi agama,
Muhammadiyah, di Yogyakarta. Diantara progamnya termasuk progam pendidikan.
Suatu bangsa tidak akan merdeka tanpa adanya
pendidikan. Belanda memang sudah mendirikan sekolah di mana-mana, tetapi
sekolah itu hanya sekedar mencukupi pegawai yang diperlukan di segala instasi
dan perusahaan kaum penjajah. Oleh karena itu, Belanda tidak banyak mendirikan
sekolah. Akibatnya selama 350 tahun Belanda menjajah Indonesia dengan sensus
penduduk tahun 1930 bangsa Indonesia yang mengerti tulis baca hanya 5% saja.
Berkembangnya organisasi Muhammadiyah ini tumbuh pula
di serat tanah air kita sekolah-sekolah yang berpengantar bahasa Melayu dan
sekolah-sekolah yang berbahasa Belanda.
Pada tahun 1912 para guru berhasil membentuk
organisasi guru yang bersifat Unitaris yaitu Persatuan Guru Hindia Belanda
(PGHD) yang anggotanya terdiri dari guru-guru tanpa memandang perbedaan ijasah,
status, tempat bekerja, dan agama atau kepercayaan.
Salah satu kegiatan PGHD yang paling menonjol dalam
bidang sosial adalah didirikannya Perseroan Asuransi Bumi Putera langsung
dibawah PGHD pimpinan Karto Hadi Subroto., yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan guru sebagai anggota. Dalam perkembangannya
perseroan ini akhirnya lepas dari PGHD. Melihat terbentuknya persatuan guru yang
tergabung dalam PGHD, pemerintah Belanda berusaha untuk menghancurkannya dengan
mendirikan berbagai jenis organisasi. Akibatnya PGHD pecah menjadi
organisasi-organisasi yang berdasarkan ijasah, tempat pekerjaan, agama dan
lain-lain.
Sebagai usaha untuk memperjuangkan nasib anggotanya,
PGHD pada tahun 1930-an mencoba menggabungkan diri pada Persatuan Vakbonden
Pegawai Negeri (PVPN). PVPN merupakan perpusatan serikat sekerja pegawai negeri
yang sejek pendiriannya berada di luar pengaruh partai-partai politik dan PVNP
sendiri tidak mempunyai tujuan politik. Masuknya PGHD menjadi anggota PVNP
diharapkan dapat memperjuangkan nasib guru. Beberapa usaha PVNP itu antara lain
pada bulan Desember 1931 mengadakan rapat disertai oleh perkumpulan politik
Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, dan Jong
Celebes, untuk memprotes rancangan pemerintah yang hendak mengadkan penghematan
besar-besaran di lapangan pengajaran, yang berakibat tidak saja guru-guru
banyak kehilangan pekerjaan tetapi juga menghambat kamajuan rakyat.
Jumlah anggota PVPN pada 1 Desember 1939
ada 41.521 orang. Persatuan Guru Indonesia (PGI) terjadi dari greopsdond :
- Hogere Kweekschoolbond (HKSB)
- Oud Kweekscholierenbond (OKSB)
- Persatuan Normaalschool (PNS)
- Persatuan guru Ambachtsschool (PGAS)
- Volksoderwijzersbond (VOB)
Perkembangan berikutnya PGHD berganti nama menjadi
Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1933 sebagai akibat dari
dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai sarekat sekerja pegawai negeri.
Bertukarnya nama Hindia Belanda dengan nama Indonesia merupakan geledek di
siang bolong bagi penjajah. Karena nama Indonesia termasuk istilah yang paling
tak disenagi oleh penjajah Belanda, tetapi paling dirindukan dan diidam-idamkan
setiap putera Indonesia, termasuk para guru.
Baik juga dicatat di sini bahwa di samping PGI adalagi
berbagai bond yang bercorak agama, bangsa dan sebagainya, seperti : Nederlands
Indische Onderwijsgenootschap (NIOG) yang beranggotakan semua guru tanpa
membedakan golongan agama, Christelijke Onderwijs Vereniging (COV), Khatolieke
Onderwijsbond (KOB), Vereniging Van muloleerkrachten dan lain-lain.
Pada kongres ke-23 di Surabaya tanggal 2-6
Januari 1934, PGI yang telah mempunyai 20.000 anggota membicarakan kedudukan
para guru berhubungan dengan krisis dan penghematan gaji pegawai negeri.
Perjuangan PGI itu tidak seluruhnya berjalan mulus,
Persatuan Guru Bantu (PGB) pada bulan Juli 1934 mengundurkan diri dari PGI
karena dianggap kurang tegas didalam mempertahankan kepentingan golongan Guru
Bantu. PGB menyalahkan sikap PGI dengan diberlakukannya peraturan gaji baru
oleh pemerintahan yang sangat menjatuhkan kedudukan dan gajinya. Meskipun PGB
mengundurkan diri, perkumpulan guru-guru lainnya tetap bersatu dalam PGI.,
antara lain PGAS, VOB, Oud Kweekschool Bond (OKSB), PNS, dan HKSB.
Kongres PGI ke-25 tanggal 25-29 Novemper 1936 di
Madiun, isinya menentang maksud pemerintah untuk memindahkan urusan pengajaran
dari tangan pemerintahan pusat ke tangan pemerintahan daerah, berhubung kurang
perlengkapan dan terbatasnya keuangan pemerintah daerah, dan dikhawatirkan
dapat berakibat pada kemunduran pengajaran. Di dalam kongres PGI ke-26 yang
diadakan pada bulan Nopember 1937 di Bandung bertepatan dengan peringatan dua
puluh lima tahun berdirinya PGI, dirumuskan supaya diadakan wajib belajar.
Selanjutnya di dalam kongres PGI tahun 1938 yang diselenggarakan di Malang,
diputuskan antara lain perlunya perbaikan gaji para guru dan menuntuk agar
pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan ke daerah harus didahului dengan
perbaikan keuangan daerah.
Perang dunia pecah. Tahun 1940 negeri Belanda diduduki
Jerman. Pada tahun 1941 semua guru-guru laki-laki (Belanda)ditugaskan masuk
milisi. Untuk mengisi kekosongan guru, beberapa sekolah sejenis digabung.
Kekosongan itu diisi oleh guru-guru Indonesia.
Pada pemerintahan Jepang segala organisasi dilarang,
sekolah ditutup,. Secara otomatis segala pendidikan menjadi beku.
5)
Keadaan Pendidikan pada Masa Penjajahan Jepang
Dalam bulan Februari 1942 tentara
Jepang menduduki Indonesia. Pertahanan sekutu yang bernama ABCD front di Asia
Timur, berantakan tak berdaya menghadapi bala tentara Dai Nippon. Pemerintahan
tentara pendudukan Jepang melarang pengunaan bahasa Belanda dan Ingrris.
Diperintahkannya agar disampaing bahasa resmi di sekolah-sekolah dan bahasa
Jepang dipelajari dan diajarkan juga.
Lagu Indonesia Raya diperbolehkan disamping lagu
Kimigayo. Akan tetapi semua perkumpulan atau perserikatan dilarang. Jadi PGI
pun tak berdaya. Kebudayaan Indonesia dihormati mereka karena Jepang menganggap
dirinya saudara tua pemimpin Asia.
Sejak itu sekolah-sekolah diberi nama Indonesia dan
Jepang. Sekolah Dasar diberi nama “Syo Gakko”, sekolah Menengah “Cu Gakko”, dan
Sekolah Tinggi “Dai Gakko”.
Bulan September 1942 Pemerintahan Jepang mulai membuka
Sekolah Menengah Pertama dan Atas, termasuk sekolah-sekolah kejuruan termasuk
seperti “Sihan Gakko” (Sekolah Guru), “Kasei Jo Gakko” (Sekolah Kepandaian
Putri) dan lain-lain.
Guru-guru Indonesia dengan semangat kebangsaan masih
tetap bekerja di bawah pemerintahan Belanda. Di Ibu Kota Indonesia Jakarta,
Amin Singgih mendirikan perserikatan dengan nama “GURU” bersama kawan-kawannya
untuk memberikan teladan nyata bahwa guru-guru Indonesia itu tetap memupuk rasa
kesatuan Nasional. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1943. Dalam tahun 1943
juga Sdr. Gustam Effendy, Adnam dan Hamid mendirikan perkumpulan kesenian yang
bernama “kesta” (Kesenian kita). Wadah ini banyak mengumpulkan uang menyokong
Pemerintah militer Jepang. Akan tetapi pada awal revolusi Indonesia dalam bulan
Agustus sampai dengan Desember 1945 banyaklah “kesta”ini mengumpulkan uang yang
disumbangkan kepada Fonds Kemerdekaan Inonesia di kota Palembang. Pemuda-pemuda
Indonesia pada waktu revolusi kemerdekaan 1945 itu membentuk “BKR” dan pelbagi sejenis
organisasi perjuangan untuk mempertahankan kemerdakaan RI. Adapun BKR itu ialah
singkatan dari Badan Keamanan Rakyat yang menjadi pokok pangkal “Tentara
Nasional Indonesia” (TNI).
Pemerintah militer Jepang ingin agar rakyat Indonesia
bersatu padu untuk membantu mereka menghadapi tentara Sekutu. Oleh sebab
itu semua daya upaya dilakukannya untuk mengambil hati bangsa Indonesia. Mereka
mengatakan bahwa merekan dating tidak untuk menjajah sesama bangsa Asia, tetapi
melepaskan belenggu penjajah orang kulit putih. Mereka pemimpin Asia, cahaya
Asia dan kekuatan Asia (Gerakan 3 A).
Tentara pembantu yang dinamai “Heiho”. Barisan pemuda
“Seinedan”, perkumpulan wanita “ Fujikai”. Organisasi rakyat dibentuk dan
dikerahkan dengan maksud untuk melatih rakyat membantu mereka. Semuanya
dilakukan dengan disiplin militer yang sangat keras. Semuanya itu minta
pengorbanan jiwa dan harta yang sangat hebat dari bangsa Indonesia. Makanan,
pakaian, dan lain-lain keprluan hidup rakyat dikuasai oleh militer dan dibagi-bagikan.
Penderitaan rakyat tidak terkira lagi. Akan tetapi di
dalam derita dan duka nestapa ini ada juga hikmahnya bagi bangsa kita.
Orang-orang Jepang itu mengajarkan pada kita untuk bekerja dengan cekatan dan
terampil di segala bidang. Rasa harga diri bangsa Timur dibangungkannya. Mereka
memerlukan tenaga pembantu untuk membangun cita-cita mereka yang sangat besar
yaitu, untuk memenangkan “Peperangan Asia Timur Raya”(Dai Toa Sensoo). Untuk
memperkuat pertahanan di garis belakang, bangsa kita dilatih di bidang
pertanian dan perindustrian. Pabrik barang-barang keperlan sehari-hari dibangun
mereka, seperti pabrik tekstil, pabrik paku, galangan kapas dan lain-lain.
Perkebunan kapas, kepala sawit, jarak dan tumbuh-tumbuhan lain untuk makanan
diwajibkan bagi rakyat. Untuk memperkuat garis depan bangsa Indonesia dilatih
di bidang kemiliteran dan membuat persenjataan sendiri. Untuk menjabat opsir
(perwira) diadakan sekolah atau pusat-pusat latihan kemiliteran seperti
“Gyugun” di Sumatra dan “Peta” ( Pertahanan Tanah Air) di Jawa. Semua ini pada
jaman penjajahan Belanda adalah tabu, karena Belanda takut akan akibatnya bagi
diri mereka sendiri. Bagi orang Jepang tidak demikian. Mereka membangkitkan
semangat keberanian bangsa Asia (Timur) dengan tujuan menjunjung falsafah
turunan Amaterasu O’Mikami ialah “Hakkoo Iciu), yang maksudnya ialah, bahwa
semua bangsa disegenap kolong langit di muka bumu ini haruslah bersatu di bawah
pimpinan bangsa Dai Nippon. Sebagaiman yang tejadi, sejarah telah membuktikan,
bahwa hasil pelajaran mereka ini akhirnya dipakai oleh bangsa Indonesia untuk
merebut kemerdekaannya sendiri dari tangan penjajah.
Jenderal-jenderal kita seperti Soedirman, A. H.
Nasution, Alamsyah, Rya Kudu dan lain-lain, adalah hasil pendidikan militer
Jepang. Orang-orang Jepang itu tahu bahwa sumber kemajuan dan kekuatan suatu
bagsa adalah pendidikan. Pendidikan itu perlu untuk kebangunan dan pembangunan
suatu bangsa. Pendidikan yang baik haruslah dilahirkan oleh guru-guru yang baik
pula. Orang Jepang sangat menghormati kaum guru. Guru dan dokter mendapat
panggilan kehormatan dari oaring Jepang dengan sebutan “Sensei” yang berarti
“mula-mula hidup” atau yang dahulu sekali hidup (orang yang tertua).
Untuk mendidik calon guru yang baik, dibukalah sekolah
guru yang dinamai ”Sihan Gatakaoo”, pada tahun 1944 dibuka pula di ibu kota
pulau Sumatra (Bukit Tinggi) sebuah sekolah guru utama yang bernama “Joo Kyuu
Sihan Gakko”. Yang diambil menjadi muridnya guru-guru yang terbaik
daerah-daerah Keresidenan (Syuu). Jumlahnya terbatas sekali. Untuk angkatan
pertama dari Lampung Syuu diterima diantaranya M. Nur Asyikin, Raja Sangun,
dari Palembang, Syuu Madian, Gustam Effendy. Waktu itu juga di daerah Batu
Sangkar dibuka sekolah “Joo Kyuu Kanri Gakko” yaitru sekolah untuk pamong praja
(camat atau asisten wedana) yang terpilih. Para gakusei (mahasiswa) dari Joo
Kyuu Sihan Gakko waktu itu diberi berpakaian seragam lengkap dengan celana
panjang, sedangkan sekolah-sekolah lainnya berseragam celana pendek semuanya.
Waktu “Gunseikang” (gubernur) dan orang-orang besar
dari Tokyo mengunjungi sekolah-sekolah utama itu, maka Joo Kyuu Sihan
Gakkoo-lah pertama kalinyan dikujungi mereka. Ini membuktikan tingginya
pandangan bangsa Jepang terhadap kaum guru.
Sejarah telah membuktikan, bahwa bangsa Jepang yang
kemajuannya memukau dunia ini, dahulu asalnya dari “Meijirestorasi” yang
memajukan pendidikan bangsa Jepang lebih dahulu dari bidang manapun.
6)
Perjuangan Guru pada Masa Penjajahan Jepang
Jepang mulai menguasai dan menjajah Indonesia sejak
belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati (Bandung) tanggal 8
Maret 1942. Sejak saat itulah penjajahan bangsa Belanda terhadap bangsa
Indonesia berakhir untuk selama-lamanya. Lepas dari bangsa Belanda, Indonesia
jatuh ke tanggan Jepang selama tiga setengah tahun (Maret 1942 – Agustus
1945) Indonesia dijajah Jepang.
Bagi Jepang, guru dipandang sebagai orang yang sangat
dihormati. Sang guru mendapat kehormatan dengan julukan Sensei, yang mempunyai
kedudukan sosial yang sangat dihormati. Begitu pula oleh murid-muridnya di
sekolah yang berbeda dengan sekarang (kurang penghargaan). Jepang mungkin
sangat berterima kasih kepada guru yang telah berjuang mempropaganda misinya
pada masyarakat luas, khususnya pada siswa. siswa sendiri begitu tundu, sopan,
hormat dan segan pada guru sehingga kedudukan guru pada waktu itu terpandang
secara jabatan ketimbang moral.
Berbeda dengan masa panjajahan Hindia Belanda dimana
guru-guru membentuk wadah organisasi PGHD atau PGI sebagai wadah perjuangannya,
pada zaman penjajahan Jepang dapat dikatakan tidak ada wadah yang menaunginya.
Organisasi guru secara khusus tidak dapat hidup seperti juga partai-partai atau
organisasi masa Indonesia selain yang bukan ciptaan Jepang. Hal itu diakibatkan
pemerintah Jepang telah mengeluarkan Undang-undang yang melarang adanya
pergerakan politik di Indonesia.
Sikap para pejuang bangsa Indonesia termasuk para
guru, dalam bentuk luarnya tidak berbuat apa-apa kecuali mengikuti apa yang
dikehendaki oleh Jepang. Tetapi secara illegal secara cermat memanfaatkan
setiap ada kesempatan untuk malawan Jepang. Jadi para tokoh-tokoh perjuangan
termasuk para guru cara berjuangnya yaitu secara legal dan illegal.
Secara legal menempuh bekerja sama dengan Jepang yaitu
menduduki lambaga-lembaga pemerintahan dan menjadi guru di sekolah-sekolah yang
didirikan oleh Jepang, serta menduduki organisasi-organisasi buatan Jepang.
Sedangkan yang bergerak secara illegal berjuang menurut caranya sendiri-sendiri
mereka bergerak lebih berhati-hati agar tidak diketahui oleh Jepang.
Kalau diikuti perjuangan pada saat itu maka perjuangan
guru sangat berat karena harus bermuka dua. Apabila ketahuan sangsinya sangat
berat. Meskipun demikian para guru tidak takut, pernah di Jakarta dibentuk
perserikatan guru dengan nama “GURU” yang dipimpin oleh Amir Singgih organisasi
guru yang sudah ada (PGI) dibekukan oleh Jepang sehingga tidak dapat bergerak.
Para guru terpaksa mencari jalan lain untuk dapat berjuang yaitu masuk dalam
organisasi yang di buat Jepang. Misalnya menjadi anggota dari Gerakan 3A,
Putera, Peta, anggota Keibondan (Pembantu Keamanan Kampung), Seinendan
(organisasi pemuda yang mendapat latihan militer) serta anggota Fujikai
(organisasi guru wanita). Organisasi-organisasi tersebut dapat dimanfaatkan
oleh rakyat Indonesia termasuk para guru, para pendidik unuk mempercepat
timbulnya kesadaran nasional.
Perjuangan para guru dan semua rakyat indonesisa
semakin berhasil. Jepang semakin terdesak oleh Sekutu, Jepang terpaksa lebih
mendakati pada rakyat Indonesia yaitu menyanyikan kemerdekaan, apabila rakyat
Indonesia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu/Amerika, Britisch,
China, dan Dutch.
Kalau dicermati dengan sungguh-sungguh perjuangan para
guru pad masa penjajahan Jepang, maka para guru berjuang sangat hati-hati
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Kadang-kadang non koperasi,
kadang-kadang koperasi, kadang-kadang legal, dan kadang-kadang illegal.
C. Penutup
Pada masa penjajahan baik penjajaha Belanda maupun
penjajahan Jepang, guru mendapatkan penghargaan dan dihormati. Pada masa
panjajahan Jepang, guru dianggap sebagai panutan untuk masyarakat, pemimpin
masyarakat, dipanggil ndoro guru dengan status ekonomi yang cukup tinggi.
Namun dibalik penghagaan yang di dapat para guru
tersebut, mereka juga mengalami penderitaan yang sangat mendalam. Para guru
juga merasakan bagaimana sulitnya memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan
kemerdekaan Indonesia.
Perjuamgan guru yang sangat besar pada masa penjajahan
sekarang sudah tidak ada artinya lagi. Guru pada jaman sekarang sudah tidak mendapatkan
penghormatan oleh masyarakat. Jangankan guru, para pejuang kita yang masih
hidup pun sekarang tidak mendapatkan kesejahteraan di masa tuanya. Bahkan
banyak sekali mantan pejuang kita yang hidupnya memprihatinkan, termasuk para
guru yang tidak lagi mendapat kedudukan tertinggi di kalangan masyarakat.
Padahal para guru juga ikut memperjuangkan kemerdekaan yang kita rasakan saat
ini.
D. Daftar
Pustaka
Sudarti,
SH., M Hum , SPJD PGRI
Komentar
Posting Komentar